Friday, February 19, 2016

The Lobster review




Beberapa hari yang lalu ketika saya sedang berkumpul dengan teman – teman disuatu komunitas, saya mengobrol dengan salah satu teman baru saya, kami asyik membicarakan film hingga teman baru saya itu memberikan saran untuk menonton film The Lobster. Dan memang kebetulan saya belum menonton film itu. Saya penasaran dengan film itu karena ia bilang filmnya lucu, ada comedynya. Kemarin hari minggu saya tontonlah filmnya. Setelah saya menonton film, saya bertemu dia lagi, saya bertanya, “lucunya dimana? Gak lucu ah..” 

The Lobster rilis pada tanggal 15 Mei 2015 (Cannes Festival) dan hingga sekarang belum tayang di Indonesia. Perlu diketahui, The Lobster ini bukan “light movies” The Lobster adalah film festival yang membuat anda berpikir bukan film yang dibuat untuk anda merasa terhibur, terharu, dll. Awalnya film ini terasa aneh karena David (Colin Farrell) dibawa ke sebuah hotel dimana ada sebuah peraturan ia diberi waktu 45 hari untuk mencari pasangan, jika tidak mendapat pasangan maka David akan berubah menjadi binatang, David memilih menjadi lobster. Peraturan selanjutnya yang aneh, di hotel tersebut tamu dilarang masturbasi. Untuk mencari pasangan, tamu hotel harus mempunyai kesamaan dengan orang yang akan dijadikan pasangan. Sehingga terlihat setiap tamu hotel harus berpura – pura hingga dia mendapatkan pasangan. Dan untuk memperpanjang waktu mereka di hotel, tamu hotel dapat memburu “The Loners” di hutan. Masih belum terasa aneh guys? Lihatlah hukuman yang diberikan oleh pihak hotel seperti jika tamu hotel melakukan masturbasi maka tangannya akan dibakar dipanggangan roti, jika “The Loners” melakukan ciuman atau bersenggama dengan The Loners lainnya maka akan mendapat hukuman “Red Kiss” / “Red intercourse”.  Terlalu banyak peraturan dan sangat ganjil. Bahkan dialog – dialog pada The Lobster terasa dibuat – buat. 


Walau film ini dibintangi banyak aktor dan aktris ternama seperti Colin Farrell, Ben whishaw, Rachel Weisz, Lea Seydoux tapi dengan adanya mereka tetap membuat film ini tidak menghibur. Seperti yang tadi saya bilang, memang film ini membuat anda berpikir. Hingga pada saat akhir film, saya berharap akan adanya happy ending karena David dan “cewek berpenglihatan rabun dekat” (Rachel Weisz) berhasil kabur, tetapi endingnya malah David melakukan hal yang ekstrim. Setelah saya menonton untuk kedua kalinya, baru saya menangkap maksud dari sang sutradara (Yorgos Lanthimos) bahwa The Lobster memang dibuat satir. Begitulah pandangan masyarakat di seluruh dunia, untuk mendapatkan pasangan ada aturan – aturan tidak tertulis yang harus dilakukan untuk mendapat pasangan. Dan satu lagi, “love is blind” istilah itu yang biasanya masyarakat lakukan untuk membrainwash kita. Mungkin ide soal cinta itulah yang membuat Yorgos membuat film ini sebegitu satirnya. Untuk rating, The Lobster pada imdb: 7.2 / 10, rotten tomatoes: 92%, metacritic: 81%. Saya yakin mereka yang memberikan rating bagus untuk film ini pasti mereka menonton “film mikir” untuk sekedar relaksasi. Saya memberikan rating 6.5 / 10 untuk The Lobster.

No comments:

Post a Comment